PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya
mengancam stabilitas perekonomian dan integritas
sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang
kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas
penegakan hukum, serta penelusuran dan
pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan
penegakan hukum, praktik, dan standar internasional
sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: . . .
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga
independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan
hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
4. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan
atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan,
pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas
sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain
yang berhubungan dengan uang.
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil,
karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari
Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut
diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan Transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak
Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal
dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK
untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena
melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal
dari hasil tindak pidana.
6. Transaksi . . .
- 3 -
6. Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan
yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas
dan/atau uang logam.
7. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah,
analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang dilakukan secara independen,
objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya
tindak pidana.
8. Hasil Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh
proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan
secara independen, objektif, dan profesional yang
disampaikan kepada penyidik.
9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
11. Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut
Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK.
12. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa
Pihak Pelapor.
13. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau
benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung
maupun tidak langsung.
14. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang
memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu
kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus
mendapat otorisasi dari atasannya.
15. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana
Pencucian Uang.
16. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa
pun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta . . .
- 4 -
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu membaca atau memahaminya.
17. Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang
memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan,
dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor.
18. Pengawasan Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan
Lembaga Pengawas dan Pengatur serta PPATK untuk
memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban
pelaporan menurut Undang-Undang ini dengan
mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan,
melakukan audit kepatuhan, memantau kewajiban
pelaporan, dan mengenakan sanksi.
Pasal 2
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. narkotika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja;
f. penyelundupan migran;
g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal;
i. di bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di bidang . . .
- 5 -
v. di bidang perpajakan;
w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih,
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan
digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau
tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi
teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf n.
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 5 . . .
- 6 -
Pasal 5
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 6
(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan
oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak
pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil
Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan
tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku
atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi Korporasi.
Pasal 7
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi
adalah pidana denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha
Korporasi;
c. pencabutan . . .
- 7 -
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 8
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Pasal 9
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta
Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali
Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana
denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi
yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda
dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi
dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Pasal 10
Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta
melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan
Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
BAB III . . .
- 8 -
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 11
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum,
hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen
atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan
Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk
memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik,
penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam
rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor
dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau
pihak lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun
atau telah disampaikan kepada PPATK.
(2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi
kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas
dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah
dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak
langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa
atau pihak lain.
(4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan
kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13 . . .
- 9 -
Pasal 13
Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana
denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Pasal 14
Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 16
Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana
Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau
Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun.
BAB IV
PELAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pihak Pelapor
Pasal 17
(1) Pihak Pelapor meliputi:
a. penyedia jasa keuangan:
1. bank;
2. perusahaan pembiayaan;
3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang
asuransi;
4. dana . . .
- 10 -
4. dana pensiun lembaga keuangan;
5. perusahaan efek;
6. manajer investasi;
7. kustodian;
8. wali amanat;
9. perposan sebagai penyedia jasa giro;
10. pedagang valuta asing;
11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan
kartu;
12. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;
13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan
pinjam;
14. pegadaian;
15. perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan berjangka komoditi; atau
16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman
uang.
b. penyedia barang dan/atau jasa lain:
1. perusahaan properti/agen properti;
2. pedagang kendaraan bermotor;
3. pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;
4. pedagang barang seni dan antik; atau
5. balai lelang.
(2) Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
Pasal 18
(1) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan
ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(2) Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali
Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga
Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Kewajiban . . .
- 11 -
(3) Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna
Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
pada saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa;
b. terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang
rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya
paling sedikit atau setara dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak
pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi
yang dilaporkan Pengguna Jasa.
(4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan
pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam
menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya
memuat:
a. identifikasi Pengguna Jasa;
b. verifikasi Pengguna Jasa; dan
c. pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
(6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan
Pengatur, ketentuan mengenai prinsip mengenali
Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan
Peraturan Kepala PPATK.
Pasal 19
(1) Setiap Orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak
Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang
benar yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan
sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber
dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir
yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan
Dokumen pendukungnya.
(2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan
pihak lain, Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai identitas
diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain
tersebut.
Pasal 20 . . .
- 12 -
Pasal 20
(1) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa
yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor
bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama
orang lain.
(2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan
untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain,
Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai
identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa
dan orang lain tersebut.
(3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung
yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi
dengan orang tersebut.
Pasal 21
(1) Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta oleh
Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap
Lembaga Pengawas dan Pengatur.
(2) Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan Dokumen
mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5
(lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan
Pengguna Jasa tersebut.
(3) Pihak Pelapor yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 22
(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib memutuskan hubungan
usaha dengan Pengguna Jasa jika:
a. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip
mengenali Pengguna Jasa; atau
b. penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran
informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa.
(2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai
tindakan pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Bagian . . .
- 13 -
Bagian Ketiga
Pelaporan
Paragraf 1
Penyedia Jasa Keuangan
Pasal 23
(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK yang meliputi:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
atau dengan mata uang asing yang nilainya setara,
yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi
maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari
kerja; dan/atau
c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar
negeri.
(2) Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan Tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan
dengan Keputusan Kepala PPATK.
(3) Besarnya jumlah Transaksi Keuangan transfer dana dari
dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan
Kepala PPATK.
(4) Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan Tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikecualikan terhadap:
a. Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
keuangan dengan pemerintah dan bank sentral;
b. Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun;
dan
c. Transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK
atau atas permintaan penyedia jasa keuangan yang
disetujui oleh PPATK.
(5) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b tidak berlaku untuk Transaksi yang
dikecualikan.
Pasal 24 . . .
- 14 -
Pasal 24
(1) Penyedia jasa keuangan wajib membuat dan menyimpan
daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4).
(2) Penyedia jasa keuangan yang tidak membuat dan
menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
Pasal 25
(1) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf a dilakukan sesegera mungkin paling lama
3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan
mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan transfer dana
dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
Transaksi dilakukan.
(4) Penyedia jasa keuangan yang tidak menyampaikan
laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenai sanksi
administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, dan tata
cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Kepala PPATK.
Pasal 26
(1) Penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan
Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
penundaan Transaksi dilakukan.
(2) Penundaan . . .
- 15 -
(2) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam hal Pengguna Jasa:
a. melakukan Transaksi yang patut diduga
menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1);
b. memiliki rekening untuk menampung Harta
Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); atau
c. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan
Dokumen palsu.
(3) Pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam berita acara
penundaan Transaksi.
(4) Penyedia jasa keuangan memberikan salinan berita
acara penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa.
(5) Penyedia jasa keuangan wajib melaporkan penundaan
Transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita
acara penundaan Transaksi dalam waktu paling lama 24
(dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu
penundaan Transaksi dilakukan.
(6) Setelah menerima laporan penundaan Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib
memastikan pelaksanaan penundaan Transaksi
dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(7) Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan sampai
dengan hari kerja kelima, penyedia jasa keuangan harus
memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau
menolak Transaksi tersebut.
Paragraf 2
Penyedia Barang dan/atau Jasa lain
Pasal 27
(1) Penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b wajib
menyampaikan laporan Transaksi yang dilakukan oleh
Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah dan/atau
mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
kepada PPATK.
(2) Laporan . . .
- 16 -
(2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(3) Penyedia barang dan/atau jasa lain yang tidak
menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi
administratif.
Paragraf 3
Pelaksanaan Kewajiban Pelaporan
Pasal 28
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor
dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi
Pihak Pelapor yang bersangkutan.
Pasal 29
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak
Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik
secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban
pelaporan menurut Undang-Undang ini.
Pasal 30
(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (4) dan Pasal 27 ayat (3) dilakukan
oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk,
pengenaan sanksi administratif terhadap Pihak Pelapor
dilakukan oleh PPATK.
(3) Sanksi administratif yang dikenakan oleh PPATK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. peringatan;
b. teguran tertulis;
c. pengumuman kepada publik mengenai tindakan
atau sanksi; dan/atau
d. denda administratif.
(4) Penerimaan . . .
- 17 -
(4) Penerimaan hasil denda administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf d dinyatakan sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
Bagian Keempat
Pengawasan Kepatuhan
Pasal 31
(1) Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi
Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur
dan/atau PPATK.
(2) Dalam hal Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan atau belum terdapat Lembaga Pengawas dan
Pengatur, Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban
pelaporan dilakukan oleh PPATK.
(3) Hasil pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan yang
dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada PPATK.
(4) Tata cara pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32
Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur menemukan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak dilaporkan
oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, Lembaga Pengawas dan
Pengatur segera menyampaikan temuan tersebut kepada
PPATK.
Pasal 33
Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib memberitahukan
kepada PPATK setiap kegiatan atau Transaksi Pihak Pelapor
yang diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik
langsung maupun tidak langsung dengan tujuan melakukan
tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
BAB V . . .
- 18 -
BAB V
PEMBAWAAN UANG TUNAI DAN INSTRUMEN PEMBAYARAN LAIN KE DALAM
ATAU KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
Pasal 34
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata
uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau
instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek
perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar
daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya
kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib membuat
laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau
instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan menyampaikannya kepada PPATK
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
pemberitahuan.
(3) PPATK dapat meminta informasi tambahan dari
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai
pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 35
(1) Setiap orang yang tidak memberitahukan pembawaan
uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh jumlah uang tunai dan/atau
instrumen pembayaran lain yang dibawa dengan jumlah
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang telah memberitahukan pembawaan
uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), tetapi
jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
yang dibawa lebih besar dari jumlah yang diberitahukan
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10%
(sepuluh perseratus) dari kelebihan jumlah uang tunai
dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa
dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
(3) Sanksi . . .
- 19 -
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan pembawaan uang
tunai diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan
disetorkan ke kas negara oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
(4) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus membuat
laporan mengenai pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan
menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima)
hari kerja sejak sanksi administratif ditetapkan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan
pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran
lain, pengenaan sanksi administratif, dan penyetoran ke kas
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar