UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya
mengancam stabilitasperekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga
dapatmembahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan
hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum,efektivitas penegakan hukum,
serta penelusuran dan pengembalian HartaKekayaan hasil tindak pidana;
c. bahwa
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar
internasional sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang;
Menimbang : P asal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBE-RANTASAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga
independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang.
3. Transaksi adalah
seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan
timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
4. Transaksi
Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran,
penarikan, pemindah-bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang
berhubungan dengan uang.
5. Transaksi
Keuangan Mencurigakan adalah: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil,
karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang
bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan
yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
6. Transaksi
Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang
kertas dan/atau uang logam.
7. Pemeriksaan
adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai
dugaan adanya tindak pidana.
8. Hasil
Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh proses identifikasi masalah,
analisis dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen,
objektif, dan profesional yang disampaikan kepada penyidik.
9. Setiap Orang
adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10. Korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
11. Pihak Pelapor
adalah Setiap Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK.
12. Pengguna Jasa
adalah pihak yang menggunakan jasa Pihak Pelapor.
13. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.
14. Personil
Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan
kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
15. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang.
16. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa
pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
17. Lembaga Pengawas
dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan,
dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor.
18. Pengawasan
Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan Lembaga Pengawas dan Pengatur serta PPATK
untuk memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan menurut
Undang-Undang ini dengan mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan
audit kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi.
Pasal 2
(1) Hasil
tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. narkotika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja;
f. penyelundupan migran;
g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal;
i. di bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di bidang perpajakan;
w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4
(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak
pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan
yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara
langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau
teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf n.
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana
karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana
Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 5
(1) Setiap Orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendapaling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 6
(1) Dalam hal tindak
pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5
dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil
Pengendali Korporasi.
(2) Pidana
dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali
Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau
pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
Korporasi.
Pasal 7
(1) Pidana pokok
yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2) Selain pidana
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa:
a.
pengumuman putusan hakim;
b.
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c.
pencabutan izin usaha;
d.
pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e.
perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f.
pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 8
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk
membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5,
pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
4 (empat) bulan.
Pasal 9
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut
diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil
Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang
dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik
Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi
dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Pasal 10
Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan
percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana
Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 11
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam
rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan
Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut
Undang-Undang ini.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan
hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak
Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan
kepada PPATK.
(2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga
Pengawas dan Pengatur.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga
Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau
tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.
(4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut
Undang-Undang ini.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13
Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (5), pidana denda tersebut diganti
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun 4 (empat) bulan.
Pasal 14
Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 16
Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik,
penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang
yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83
ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
BAB
IV
PELAPORAN
DAN PENGAWASAN KEPATUHAN
Bagian
Kesatu
Pihak
Pelapor
Pasal 17
(1) Pihak Pelapor meliputi:
a.
penyedia jasa keuangan:
1. bank;
2. perusahaan pembiayaan;
3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;
4. dana pensiun lembaga keuangan;
5. perusahaan efek;
6. manajer investasi;
7. kustodian;
8. wali amanat;
9. perposan sebagai penyedia jasa giro;
10. pedagang valuta asing;
11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;
12. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;
13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;
14. pegadaian;
15. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan
berjangka komoditi; atau
16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
b.
penyedia barang dan/atau jasa lain:
1.
perusahaan properti/agen properti;
2.
pedagang kendaraan bermotor;
3.
pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;
4.
pedagang barang seni dan antik; atau
5.
balai lelang.
(2) Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa.
Pasal 18
(1) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan
ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(2) Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan
Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna
Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat:
a. melakukan
hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;
b. terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah
dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. terdapat
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan
tindak pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang
dilaporkan Pengguna Jasa.
(4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib
melaksanakan pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa.
(5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa
sekurang-kurangnya memuat:
a.
identifikasi Pengguna Jasa;
b.
verifikasi Pengguna Jasa; dan
c.
pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
(6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan
Pengatur, ketentuan mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya
diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
Pasal 19
(1) Setiap Orang yang melakukan Transaksi dengan
Pihak Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang benar yang
dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri,
sumber dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh
Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumen pendukungnya.
(2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan
pihak lain, Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan
informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain
tersebut.
Pasal 20
(1) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna
Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak untuk diri sendiri
atau untuk dan atas nama orang lain.
(2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor
dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain, Pihak Pelapor
wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna
Jasa dan orang lain tersebut.
(3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung
yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor
wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut.
Pasal 21
(1) Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta
oleh Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas
dan Pengatur.
(2) Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan
Dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5 (lima) tahun sejak
berakhirnya hubungan usaha dengan Pengguna Jasa
tersebut.
(3) Pihak Pelapor yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pasal 22
(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa jika:
a. Pengguna Jasa
menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa; atau
b. penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran informasi
yang disampaikan oleh Pengguna Jasa.
(2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai tindakan pemutusan
hubungan usaha tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Bagian
Ketiga
Pelaporan
Paragraf
1
Penyedia
Jasa Keuangan
Pasal 23
(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang
meliputi:
a. Transaksi
Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang
nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa
kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau
c. Transaksi
Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.
(2) Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan
Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan Kepala
PPATK.
(3) Besarnya jumlah Transaksi Keuangan transfer
dana dari dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
(4) Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan
Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan terhadap:
a. Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan
dengan pemerintah dan bank sentral;
b. Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; dan
c. Transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau
atas permintaan penyedia jasa keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(5) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk Transaksi yang dikecualikan.
Pasal 24
(1) Penyedia jasa keuangan wajib membuat dan
menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (4).
(2) Penyedia jasa keuangan yang tidak membuat dan
menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
Pasal 25
(1) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf a dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja
setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan transfer
dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf
c dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
Transaksi dilakukan.
(4) Penyedia jasa keuangan yang tidak menyampaikan
laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), dikenai sanksi administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis,
dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
Pasal 26
(1) Penyedia jasa keuangan dapat melakukan
penundaan Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penundaan
Transaksi dilakukan.
(2) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal Pengguna Jasa:
a. melakukan Transaksi yang patut diduga menggunakan Harta
Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1);
b. memiliki rekening untuk menampung Harta Kekayaan yang
berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
atau
c. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan Dokumen
palsu.
(3) Pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam berita acara penundaan Transaksi.
(4) Penyedia jasa keuangan memberikan salinan
berita acara enundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa.
(5) Penyedia jasa keuangan wajib melaporkan
penundaan Transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita acara penundaan
Transaksi dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak
waktu penundaan Transaksi dilakukan.
(6) Setelah menerima laporan penundaan Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan
Transaksi dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(7) Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan
sampai dengan hari kerja kelima, penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan
melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut.
Paragraf
2
Penyedia
Barang dan/atau Jasa lain
Pasal 27
(1) Penyedia barang dan/atau jasa lain
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan
Transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah dan/atau
mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) kepada PPATK.
(2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal Transaksi dilakukan.
(3) Penyedia barang dan/atau jasa lain yang tidak
menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dikenai sanksi administratif.
Paragraf
3
Pelaksanaan
Kewajiban Pelaporan
Pasal 28
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor
dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang
bersangkutan. Pasal 29 Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak
Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata
maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang- Undang ini.
Pasal 30
(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan Pasal 27 ayat (3) dilakukan oleh Lembaga
Pengawas dan Pengatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, pengenaan sanksi
administratif terhadap Pihak Pelapor dilakukan oleh PPATK.
(3) Sanksi administratif yang dikenakan oleh PPATK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. peringatan;
b. teguran tertulis;
c. pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi;
dan/atau
d. denda administratif.
(4) Penerimaan hasil denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dinyatakan sebagai Penerimaan Negara
Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala PPATK.
Bagian
Keempat
Pengawasan
Kepatuhan
Pasal 31
(1) Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban pelaporan
bagi Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilakukan oleh
Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/ atau PPATK.
(2) Dalam hal Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atau belum
terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban
pelaporan dilakukan oleh PPATK.
(3) Hasil pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan yang
dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada PPATK.
(4) Tata cara pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Lembaga Pengawas
dan Pengatur dan/atau PPATK sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32
Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur menemukan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada
PPATK, Lembaga Pengawas dan Pengatur segera menyampaikan temuan tersebut kepada
PPATK.
Pasal 33
Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib memberitahukan
kepada PPATK setiap kegiatan atau
Transaksi Pihak Pelapor yang diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik
langsung maupun tidak langsung dengan tujuan melakukan tindak pidana Pencucian
Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
BAB
V
PEMBAWAAN
UANG TUNAI DAN INSTRUMEN PEMBAYARAN LAIN KE DALAM
ATAU
KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA
Pasal 34
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata uang
rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau instrumen pembayaran lain dalam
bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan
itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya
kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib membuat laporan
mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima)
hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan.
(3) PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen
pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
35
(1) Setiap orang yang tidak memberitahukan pembawaan uang
tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
yang dibawa dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang telah memberitahukan pembawaan uang
tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1), tetapi jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang
dibawa lebih besar dari jumlah yang diberitahukan dikenai sanksi administratif
berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari kelebihan jumlah uang tunai
dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa dengan jumlah paling banyak
Rp300.000.000,00 (tigaratus juta rupiah).
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) yang berkaitan dengan pembawaan uang tunai diambil langsung dari
uang tunai yang dibawa dan disetorkan ke kas negara oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.
(4) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus membuat laporan
mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dan menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
sanksi administratif ditetapkan.
Pasal
36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberitahuan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain,
pengenaan sanksi administratif, dan penyetoran ke kas negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
PUSAT
PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
Bagian
Kesatu
Kedudukan
Pasal
37
(1) PPATK dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan
mana pun.
(2) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) Setiap Orang dilarang melakukan segala bentuk
campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
(4) PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala
bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan
kewenangannya.
Pasal
38
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan, perwakilan PPATK dapat
dibuka di daerah.
Bagian
Kedua
Tugas,
Fungsi, dan Wewenang
Pasal
39
PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas
tindak pidana Pencucian Uang.
Pasal
40
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian
Uang;
b. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh
PPATK;
c. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
d. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi
Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau
tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 41
(1) Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf a, PPATK berwenang:
a. meminta dan
mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta
yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi
pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
b. menetapkan
pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan;
c. mengoordinasikan
upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait;
d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya
pencegahan tindak pidana Pencucian Uang;
e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi
dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang;
f. menyelenggarakan
program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan
g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
(2) Penyampaian data dan informasi oleh instansi
pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
42
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK berwenang
menyelenggarakan sistem informasi.
Pasal 43
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c,
PPATK berwenang:
a. menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara
pelaporan bagi Pihak Pelapor;
b. menetapkan kategori Pengguna Jasa yang
berpotensi melakukan tindak pidana Pencucian Uang;
c. melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;
d. menyampaikan informasi dari hasil audit kepada
lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor;
e. memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang
melanggar kewajiban pelaporan;
f. merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang
mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan
g. menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali
Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan
Pengatur.
Pasal 44
(1) Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau
pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d,
PPATK dapat:
a. meminta dan
menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;
b. meminta informasi
kepada instansi atau pihak terkait;
c. meminta informasi
kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;
d. meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan
permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;
e. meneruskan
informasi dan/atau hasil análisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun
di luar negeri;
f. menerima laporan
dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana
Pencucian Uang;
g. meminta
keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak
pidana Pencucian Uang;
h. merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai
pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
i. meminta penyedia
jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau
dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
j. meminta informasi
perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak
pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;
k. mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup
tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan
l. meneruskan hasil
analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.
(2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i harus segera menindaklanjuti setelah menerima permintaan dari
PPATK.
Pasal
45
Dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan PPATK diatur
dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Akuntabilitas Pasal 47
(1) PPATK membuat dan menyampaikan laporan wewenangnya
secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pelaksanaan
tugas, fungsi, dan Bagian Keempat Susunan Organisasi
Pasal
48
Susunan organisasi PPATK terdiri atas:
a. kepala;
b. wakil kepala;
c. jabatan struktural lain; dan
d. jabatan fungsional.
Pasal
49
(1) Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 huruf a mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan.
(2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan
mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wakil Kepala PPATK, seorang
atau beberapa orang pegawai PPATK, dan/ atau pihak lain yang khusus ditunjuk
untuk itu.
Pasal
50
Kepala PPATK adalah penanggung jawab yang memimpin
dan mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang PPATK. Pasal 51 Untuk
dapat diangkat sebagai Kepala atau Wakil Kepala PPATK, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara
Indonesia;
b. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling
tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan
rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang
baik;
e. memiliki salah satu keahlian di bidang ekonomi,
akuntansi, keuangan, atau hukum dan pengalaman kerja di bidang tersebut paling
singkat 10 (sepuluh) tahun;
f. bukan pemimpin
partai politik;
g. bersedia
memberikan informasi mengenai daftar Harta Kekayaan;
h. tidak merangkap
jabatan atau pekerjaan lain; dan
i. tidak pernah
dijatuhi pidana penjara.
Pasal
52
(1) Wakil Kepala PPATK bertugas membantu Kepala
PPATK.
(2) Wakil Kepala PPATK dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala PPATK.
(3) Dalam hal Kepala PPATK berhalangan, Wakil
Kepala PPATK bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas,
fungsi, dan wewenang PPATK.
Pasal
53
Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf a dan huruf b diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal
54
(1) Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebelum memangku
jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya
di hadapan Presiden.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya untuk
menjadi Kepala/Wakil Kepala PPATK langsung atau tidak langsung dengan nama dan
dalih apa pun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada
siapa pun". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tidak akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk
apa pun". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan
kepada siapa pun hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan wajib
dirahasiakan". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan
tugas dan kewenangan selaku Kepala/Wakil Kepala PPATK dengan sebaik-baiknya dan
dengan penuh rasa tanggung jawab". "Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan
peraturan perundangundangan yang berlaku".
Pasal
55
Kepala dan Wakil Kepala PPATK memegang jabatan
selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya.
Pasal
56
Jabatan Kepala atau Wakil Kepala PPATK berhenti
karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. berakhir masa jabatannya; atau
Pasal
57
(1) Pemberhentian Kepala atau Wakil Kepala PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d dilakukan karena:
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia;
c. menderita sakit terus-menerus yang penyembuhannya
memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan
tugasnya;
d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
e. merangkap jabatan;
f. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
g. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Dalam hal Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK
menjadi terdakwa tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatannya,
Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Dalam hal tuntutan terhadap Kepala dan/atau
Wakil Kepala PPATK menjadi terdakwa dinyatakan tidak terbukti berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan yang bersangkutan
dipulihkan kembali.
(4) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden.
Pasal
58
(1) Kepala dan Wakil Kepala PPATK berhak memperoleh
penghasilan, hak-hak lain, penghargaan, dan fasilitas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghasilan,
hak-hak lain, penghargaan, dan fasilitas bagi Kepala dan Wakil Kepala PPATK
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
59
Kepala PPATK dapat mengangkat tenaga ahli paling
banyak 5 (lima) orang untuk memberikan pertimbangan mengenai masalah tertentu
sesuai dengan bidang keahliannya.
Pasal
60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi
dan tata kerja PPATK diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Kelima Manajemen
Sumber Daya Manusia
Pasal
61
Kepala PPATK adalah pejabat pembina kepegawaian di
lingkungan PPATK.
Pasal
62
(1) Kepala PPATK selaku pejabat pembina kepegawaian
menyelenggarakan manajemen sumber daya manusia PPATK yang meliputi perencanaan,
pengangkatan, pemindahan, pengembangan, pemberhentian, dan pemberian
remunerasi.
(2) Penyelenggaraan manajemen sumber daya manusia
PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan dilaksanakan berdasarkan
prinsip meritokrasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen
sumber daya manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keenam
Pembiayaan
Pasal
63
Biaya untuk pelaksanaan tugas PPATK dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB
VII
PEMERIKSAAN
DAN PENGHENTIAN SEMENTARA TRANSAKSI
Pasal
64
(1) PPATK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi
Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana Pencucian
Uang atau tindak pidana lain.
(2) Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak
pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil
Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.
(3) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyidik melakukan koordinasi dengan PPATK.
Pasal
65
(1) PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk
menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i.
(2) Dalam hal penyedia jasa keuangan memenuhi
permintaan PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan penghentian
sementara dicatat dalam berita acara penghentian sementara Transaksi.
Pasal
66
(1) Penghentian sementara Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 5 (lima)
hari kerja setelah menerima berita acara penghentian sementara Transaksi.
(2) PPATK dapat memperpanjang penghentian sementara
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 15 (lima
belas) hari kerja untuk melengkapi hasil analisis atau pemeriksaan yang akan
disampaikan kepada penyidik.
Pasal
67
(1) Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga
yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal
penghentian sementara Transaksi, PPATK menyerahkan penanganan Harta Kekayaan
yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada
penyidik untuk dilakukan penyidikan.
(2) Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan
tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
(3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
BAB
VIII
PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
68
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini. Pasal 69 Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak
wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Pasal
70
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan Transaksi terhadap Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan yang meminta penundaan Transaksi;
b. identitas Setiap Orang yang Transaksinya akan dilakukan
penundaan;
c. alasan penundaan Transaksi; dan d. tempat Harta Kekayaan
berada. (3) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lama 5 (lima) hari kerja.
(3) Pihak Pelapor wajib melaksanakan penundaan
Transaksi sesaat setelah surat perintah/
permintaan penundaan Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum,
atau hakim.
(4) Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara
pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang
meminta penundaan Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan penundaan Transaksi.
Pasal 71
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari:
a. Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada
penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan
penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK
kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja.
(4) Dalam hal jangka waktu pemblokiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berakhir, Pihak Pelapor wajib mengakhiri pemblokiran
demi hukum.
(5) Pihak Pelapor wajib melaksanakan pemblokiran
sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima dari penyidik, penuntut
umum, atau hakim.
(6) Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara
pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang
memerintahkan pemblokiran paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan pemblokiran.
(7) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada
pada Pihak Pelapor yang bersangkutan.
Pasal
72
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam
perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis
mengenai Harta Kekayaan dari:
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada
penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan
peraturan perundangundangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan
Transaksi Keuangan lain.
(3) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis
atau pemeriksaan PPATK, tersangka, atau terdakwa;
c. uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus disertai dengan:
a. laporan polisi dan surat
perintah penyidikan;
b. surat penunjukan sebagai
penuntut umum; atau
c. surat penetapan majelis
hakim.
(5) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala
kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
b. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal
permintaan diajukan oleh penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal
permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum; atau
d. hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
(6) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) ditembuskan kepada PPATK.
Pasal
73
Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana
Pencucian Uang ialah:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana; dan/atau
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
alat yang serupa optik dan Dokumen.
Bagian
Kedua
Penyidikan
Pasal
74
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang
dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan
hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain
menurut Undang-Undang ini.
Pasal
75
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang
cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik
menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana
Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Bagian Ketiga
Penuntutan
Pasal
76
(1) Penuntut umum
wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana Pencucian Uang kepada pengadilan
negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap.
(2) Dalam hal
penuntut umum telah menyerahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan negeri wajib membentuk majelis hakim
perkara tersebut paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya berkas
perkara tersebut.
Bagian Keempat
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal
77
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana.
Pasal
78
(1) Dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan
terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara
bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1).
(2) Terdakwa
membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau
terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Pasal
79
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut
tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum
putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan
surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam
sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum
memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.
(5) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dapat dimohonkan upaya hukum.
(6) Setiap Orang yang berkepentingan dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal
80
(1) Dalam hal hakim memutus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (3), terdakwa dapat
mengajukan
banding.
(2) Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan langsung oleh terdakwa paling lama 7 (tujuh) hari setelah
putusan diucapkan.
Pasal
81
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih
ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum
untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut.
Pasal
82
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi,
panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat
pengurus berkantor.
BAB
IX
PELINDUNGAN
BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Pasal
83
(1) Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum,
atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapor.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut
ganti kerugian melalui pengadilan.
Pasal
84
(1) Setiap Orang yang melaporkan terjadinya dugaan
tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi pelindungan khusus oleh negara dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian
pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal
85
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan
orang lain yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang yang sedang dalam
pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memungkinkan
dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan
dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang
terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut mengenai larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal
86
(1) Setiap Orang yang memberikan kesaksian dalam
pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi pelindungan khusus oleh
negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau
hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian
pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal
87
(1) Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut,
baik secara perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau kesaksian yang
diberikan oleh yang bersangkutan.
(2) Saksi yang memberikan keterangan palsu di atas
sumpah dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
BAB X
KERJA SAMA DALAM PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
Pasal
88
(1) Kerja sama nasional yang dilakukan PPATK dengan pihak
yang terkait dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja sama formal.
(2) Pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pihak yang mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang di Indonesia.
Pasal
89
(1) Kerja sama internasional dilakukan oleh PPATK dengan
lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
(2) Kerja sama internasional yang dilakukan PPATK dapat
dilaksanakan dalam bentuk kerja sama formal atau berdasarkan bantuan timbal
balik atau prinsip resiprositas.
Pasal
90
(1) Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang, PPATK dapat melakukan kerja sama pertukaran informasi
berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dengan pihak, baik dalam
lingkup nasional maupun internasional, yang meliputi:
a. instansi penegak hukum;
b. lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
penyedia jasa keuangan;
c. lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara;
d. lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait
dengan tindak pidana Pencucian Uang; dan
e. financial intelligence unit negara lain.
(2) Permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dalam
pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas
inisiatif sendiri atau atas permintaan pihak yang dapat meminta informasi
kepada PPATK.
(3) Permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada PPATK diajukan secara tertulis
dan ditandatangani oleh:
a. hakim ketua majelis;
b. Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah;
c. Jaksa Agung atau
kepala kejaksaan tinggi;
d. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal
permintaan diajukan oleh penyidik, selain penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
e. pemimpin, direktur atau pejabat yang setingkat, atau
pemimpin satuan kerja atau kantor di lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;
f. pimpinan lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara;
g. pimpinan dari
lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;
atau
h. pimpinan financial intelligence unit negara lain.
Pasal
91
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah
pidana dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilaksanakan jika negara dimaksud telah mengadakan
perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.
Pasal
92
(1) Untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga terkait
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, dibentuk
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
(2) Pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB
XI
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
93
Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional
atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang dan pendanaan terorisme, PPATK dan instansi terkait dapat
melaksanakan ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. PPATK yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, ditetapkan sebagai PPATK berdasarkan Undang-Undang ini.
b. PPATK yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang tetap menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya berdasarkan
Undang-Undang ini.
c. Susunan
organisasi PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tetap berlaku sampai terbentuknya
susunan organisasi PPATK yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. d. Kepala dan
Wakil Kepala PPATK yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentangTindak Pidana Pencucian Uang tetap menjalankan tugas, fungsi,
dan wewenangnya sampai dengan diangkatnya Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang
baru paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
e. Komite
Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2004 tetap menjalankan
tugas, fungsi, dan wewenangnya sampai dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan Undang- Undang ini.
Pasal 95 Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang
ini, diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
BAB
XIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
96
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh penyedia
barang dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang- Undang ini
diundangkan.
Pasal
97
Pelaksanaan kewajiban pelaporan Transaksi Keuangan
transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) huruf c dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal
98
Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal
99
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
100
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 22 Oktober 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 22 Oktober 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 122
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala
Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang
Perekonomian dan Industri,
Ttd,
Setio
Sapto Nugroho
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I.
UMUM
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil
dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak
pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa
memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak
sah. Karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas
dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil
tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil
tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang
berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku
atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat
menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin
kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian
Harta Kekayaan hasil tindak pidana.
Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada
umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting
khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan
Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan
analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik.
Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam
membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko,
yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi
karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak
pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang
baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga
pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.
Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang
semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang
semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah
merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action
Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional
yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal
dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9)
FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor
(reporting parties) yang mencakup pedagang permata
dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.
Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui
forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang
menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat
diminimalisasi.
Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di
Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal
itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan
kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan
analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga
penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.
Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum
optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata
masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah
hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban
pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis
laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana
Undang-Undang ini.
Untuk memenuhi kepentingan nasional dan
menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang
ini, antara lain:
1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan
tindak pidana Pencucian Uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana
Pencucian Uang;
3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan
sanksi administratif;
4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna
Jasa;
5. perluasan Pihak Pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia
barang dan/atau jasa lainnya;
7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk
menunda Transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai terhadap pembawaan uangtunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau
ke luar daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak
pidana asal untuk menyidik dugaantindak pidana Pencucian Uang;
11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil
analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk
kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak
pidana Pencucian Uang; dan
15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan
yang berasal dari tindak pidana.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyuapan” adalah penyuapan
sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai tindak pidana suap.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penyelundupan tenaga kerja”
adalah penyelundupan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penyelundupan migran” adalah
penyelundupan migran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
keimigrasian.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “perdagangan orang” adalah
perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Huruf
m Yang dimaksud dengan “perdagangan senjata gelap” adalah perdagangan senjata
gelap sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
tentang mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen"
(Staatsblad 1948: 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun
1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian
Idzin Pemakaian Senjata Api.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “penculikan” adalah penculikan
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Huruf p Cukup
jelas.
Huruf q Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Yang dimaksud dengan “prostitusi” adalah prostitusi
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang
mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Cukup jelas.
Berdasarkan ketentuan ini, maka dalam menentukan
hasil tindak pidana, Undang-Undang ini menganut asas kriminalitas ganda (double
criminality).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu
kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada
saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya
pelanggaran hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi
yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang
eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu
atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan
memperoleh
keuntungan finansial atau non-finansial baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai
rahasia jabatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Ketentuan ini dikenal sebagai “anti-tipping off”.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa tidak memindahkan Harta
Kekayaannya sehingga mempersulit penegak hukum untuk melakukan pelacakan
terhadap Pengguna jasa dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ”anti-tipping off” berlaku pula bagi
pejabat atau pegawai PPATK serta pejabat atau pegawai Lembaga Pengawas dan
Pengatur untuk mencegah Pengguna Jasa yang diduga sebagai pelaku kejahatan
melarikan diri dan Harta Kekayaan yang bersangkutan dialihkan sehingga
mempersulit proses penyidikan
tindak pidana.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Huruf a
Termasuk dalam pengertian “penyedia jasa
keuangan”adalah Setiap Orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa
lainnya yang terkait dengan keuangan baik secara formal maupun nonformal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyedia barang dan/atau jasa
lain” meliputi baik berizin maupun tidak berizin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip mengenali
Pengguna Jasa” adalah Customer Due Dilligence (CDD) dan Enhanced Due Dilligence
(EDD) sebagaimana dimaksud dalam Rekomendasi 5 Financial Action Task Force
(FATF) on Money Laundering.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “identifikasi Pengguna Jasa”
termasuk pemutakhiran data Pengguna Jasa.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan
perundangundangan” antara lain
peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengawas
dan Pengatur seperti
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK).
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” termasuk
hubungan rekening koran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
1) Pada dasarnya, Transaksi Keuangan Mencurigakan
diawali dari Transaksi
antara lain:
1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang
jelas;
2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif
besar dan/atau
dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran;
atau
3) aktivitas Transaksi nasabah di luar kebiasaan
dan kewajaran.
Apabila Transaksi-Transaksi yang tidak lazim
tersebut memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5,
Transaksi tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang
wajib dilaporkan. Sedangkan terhadap Transaksi atau
aktivitas di luar
kebiasaan dan kewajaran sebagaimana tersebut di
atas, penyedia jasa
keuangan diminta memberikan perhatian khusus atas
semua Transaksi
yang kompleks, tidak biasa dalam jumlah besar, dan
semua pola
Transaksi tidak biasa, yang tidak memiliki alasan
ekonomis yang jelas
dan tidak ada tujuan yang sah. Latar belakang dan
tujuan Transaksi
tersebut harus, sejauh mungkin diperiksa, temuan-temuan
yang didapat
dibuat tertulis, dan tersedia untuk membantu pihak
berwenang dan
auditor.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Transaksi dengan pemerintah
adalah Transaksi
yang menggunakan rekening pemerintah, dan dilakukan
untuk dan atas
nama pemerintah yaitu pemerintah pusat, pemerintah
daerah, kementerian,
lembaga pemerintah non-kementerian atau badan-badan
pemerintah lainnya,
namun tidak termasuk badan usaha milik
negara/daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Transaksi lain” adalah
Transaksi- Transaksi yang
dikecualikan sesuai dengan karakteristiknya selalu
dilakukan dalam bentuk
tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran
rutin oleh pengelola
jalan tol atau pengelola supermarket.
Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK
dapat menetapkan
transaksi lain yang dikecualikan berdasarkan
besarnya jumlah transaksi,
bentuk atau wilayah kerja Pihak Pelapor tertentu.
Pemberlakukan
pengecualian tersebut dapat dilakukan baik untuk
waktu yang tidak terbatas
(permanen) maupun untuk waktu tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar data atau informasi
mengenai Transaksi yang
dikecualikan tersebut dapat diteliti atau diperiksa
oleh PPATK untuk keperluan
analisis. Rincian daftar Transaksi yang wajib
dibuat dan disimpan pada dasarnya
sama dengan Transaksi tunai yang seharusnya
dilaporkan kepada PPATK.
Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik
sepanjang dapat dijamin bahwa data
atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau
rusak.
Ayat (2)
cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyedia jasa
keuangan dapat sesegera
mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan
agar Harta Kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan
pelaku Pencucian Uang dapat
segera dilacak. Unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Hal ini berarti paling lama pada hari kerja kelima
penundaan transaksi dilakukan,
penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan
melaksanakan Transaksi atau
menolak Transaksi tersebut.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan “dituntut secara perdata”
antara lain adalah tuntutan
ganti rugi. Yang dimaksud dengan “dituntut secara
pidana” antara lain tuntutan
pencemaran nama baik.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Dengan demikian, terhadap Pihak Pelapor yang telah
memiliki Lembaga
Pengawas dan Pengatur ada 2 (dua) pintu Pengawasan
Kepatuhan, yaitu oleh
Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cek, cek perjalanan (travellers cheque), surat
sanggup bayar, atau bilyet giro
yang dikenal sebagai Bearer Negotiable Instruments.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk
campur tangan”
adalah perbuatan atau tindakan dari pihak mana pun
yang mengakibatkan
berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat
melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengawasan kepatuhan dilakukan oleh PPATK terhadap
Pihak Pelapor yang
belum memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur, atau
terhadap Pihak Pelapor
yang pengawasannya telah diserahkan oleh Lembaga
Pengawas dan Pengatur
kepada PPATK.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” antara
lain Direktorat Jenderal
Pajak dan Pusat Pembina Akuntan dan Jasa Penilai
Kementerian Keuangan,
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia, Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Yang dimaksud
dengan “lembaga swasta” antara lain asosiasi
advokat, asosiasi notaris,
dan asosiasi akuntan. Yang dimaksud “profesi
tertentu” antara lain advokat,
konsultan bidang keuangan, notaris, pejabat pembuat
akta tanah, dan
akuntan independen.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian data dan informasi oleh instansi
pemerintah dan/atau lembaga
swasta tidak memerlukan izin siapa pun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan sistem
informasi” antara lain:
a. membangun, mengembangkan, dan memelihara sistem
aplikasi;
b. membangun, mengembangkan, dan memelihara
infrastruktur jaringan komputer
dan basis data;
c. mengumpulkan, mengevaluasi data dan informasi
yang diterima oleh PPATK
secara manual dan elektronik;
d. menyimpan, memelihara data dan informasi ke
dalam basis data;
e. menyajikan informasi untuk kebutuhan analisis;
f. memfasilitasi pertukaran informasi dengan
instansi terkait baik dalam negeri
maupun luar negeri; dan
g. melakukan sosialisasi penggunaan sistem aplikasi
kepada Pihak Pelapor.
Pasal 43
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Audit khusus dapat dilakukan terhadap:
1. penyedia jasa keuangan yang pengawasan kepatuhan
atas kewajiban
pelaporan bagi penyedia jasa keuangan tersebut
dilakukan oleh Lembaga
Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK;
2. penyedia jasa keuangan berdasarkan permintaan
lembaga atau instansi
yang berwenang meminta informasi kepada PPATK
sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Permintaan informasi dari instansi penegak hukum
atau mitra kerja di
luar negeri dalam ketentuan ini dilakukan sepanjang
tidak mengganggu
kepentingan nasional dengan memperhatikan ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang hubungan luar negeri
dan perjanjian
internasional.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak
lain yang terkait
dengan dugaan tindak pidana Pencucian Uang, dapat
berupa melakukan
audit khusus baik yang dilakukan sendiri oleh PPATK
maupun dilakukan
bersama-sama dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Permintaan PPATK kepada penyedia jasa keuangan
untuk menghentikan
sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang
diketahui atau dicurigai
merupakan hasil tindak pidana, dilakukan untuk
pemeriksaan.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan “kerahasiaan” antara lain
rahasia bank, rahasia non-bank,
dan sebagainya.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, DPR RI
sewaktuwaktu berhak
meminta laporan PPATK.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pekerjaan
lain” adalah pekerjaan
yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan tugas dan
menimbulkan konflik
kepentingan.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada
Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia
dan tembusannya
disampaikan kepada penyidik lain sesuai
kewenangannya berdasarkan Undang-
Undang ini.
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini koordinasi juga dilakukan
diantara penyidik tindak pidana
asal yang memperoleh Hasil Pemeriksaan PPATK.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”menghentikan sementara
seluruh atau sebagian
Transaksi” adalah tidak melaksanakan Transaksi yang
diketahui atau dicurigai
merupakan hasil tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai
dengan tahap
pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan
pada penyidik, pada
tahap penuntutan kewenangan pada penuntut umum, dan
kewenangan hakim
pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Surat permintaan pemblokiran yang dikirimkan kepada
penyedia jasa keuangan
tersebut harus ditandatangani oleh:
a. koordinator penyidik/ketua tim penyidik untuk
tingkat penyidikan;
b. kepala kejaksaan negeri untuk tingkat
penuntutan;
c. hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan
pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan
perundangundangan” juga
termasuk ketentuan mengenai kerahasiaan yang
berlaku bagi Pihak Pelapor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau kepala kepolisian
daerah, atau pimpinan instansi atau lembaga atau
komisi, atau Jaksa Agung
atau kepala kejaksaan tinggi berhalangan,
penandatanganan dapat dilakukan
oleh pejabat yang ditunjuk.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal”
adalah pejabat dari instansi
yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk
melakukan penyidikan,
yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN),
serta Direktorat Jenderal
Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat
melakukan penyidikan tindak pidana
Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan
yang cukup terjadinya tindak
pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan
tindak pidana asal sesuai
kewenangannya.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang dalam pelaksanaan
peradilannya dapat berjalan dengan
lancar, maka jika terdakwa telah dipanggil secara
sah dan patut tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara
tersebut tetap diperiksa tanpa
kehadiran terdakwa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli
waris dari terdakwa
menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal
dari tindak pidana.
Disamping itu sebagai usaha untuk mengembalikan
kekayaan negara dalam hal
tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan
Negara.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “harus dilakukan langsung oleh
terdakwa” adalah
terdakwa harus hadir dan menandatangani sendiri
akta pernyataan banding di
pengadilan negeri yang memutus perkara tersebut.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelapor” adalah setiap orang
yang beritikad baik
dan secara sukarela menyampaikan laporan terjadinya
dugaan tindak pidana
Pencucian Uang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerja sama formal” antara
lain nota kesepahaman atau
memorandum of understanding.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup Jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
adalah undang-
undang yang mengatur mengenai bantuan timbal balik
dalam masalah pidana
dan undang-undang yang mengatur mengenai perjanjian
internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ketentuan ini dimaksudkan agar PPATK dan instansi
terkait dapat menetapkan
ketentuan sesuai dengan perkembangan konvensi
internasional atau rekomendasi
internasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian
Uang, antara lain mengeluarkan ketentuan atau
pedoman mengenai penerapan
program antipencucian uang bagi penyedia jasa
keuangan.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar